Tak sengaja remote control yang kupegang mengarah ke
stasiun tv yang sedang menayangkan acara kuliner di
Jogja. Sang presenter mampir ke salah satu warung yang
menjajakan sebungkus dengan lauk sambal tempe yang
akrab disebut Nasi Kucing, yang menjadi makanan favorit
anak-anak mahasiswa, apalagi saat akhir bulan tiba.
Tanpa sadar pikiranku pun melayang terbang tinggi kembali
ke masa perkuliahan dulu. Masa dimana aku masih menjadi
seorang mahasiswa yang urakan. Dengan celana jeans
lusuh, baju monza, ditambah sandal jepit yang setia
menemani kemana pun aku melangkah. Sekilas memang
seperti mahasiswa yang nggak mau kuliah, padahal aku
cuma mahasiswa bokek.
Seperti biasanya, mahasiswa bokek biasanya berteman
dengan mahasiswa bokek lainnya. Jadi bisa dibayangkan,
kalau jalan bergerombolan, kami layaknya para pendekar
pengemis di pilem-pilem silat Tionghoa. Ditambah dengan
sedikit tampang garang, jika kami berjalan menyusuri
lorong-lorong kampus, tak sedikit mata yang memandang.
Mungkin dalam hati mereka, " Kalau saja orang ini
berpakaian rapi, pasti banyak cewek yang ngantri."
Padahal sama saja, rapi atau tidak rapi, kami tetap jomblo
sejati.
Tahun 2000 adalah tahun dimana perekonomian lagi seret
dibantai krisis moneter. Mau gak mau, ikat pinggang harus
diketatkan. Kalau perlu disumpal dengan batu. Biar perut
bisa nampak berisi. Tak jauh beda dengan mahasiswa di
Jogja yang meramaikan warung nasi kucing di saat bulan
tua tiba. Cuma nama nasinya yang beda. Kalau di Jogja
disebut nasi kucing, kami di Medan lebih keren. Namanya
Nasi Perang alias The Rice Of War (agak maksa). Trus, kalau
anak Jogja banyak makan nasi kucing di akkhir bulan, kami
makan nasi perang setiap hari tanpa mengenal bulan tua
atau muda. Karena pada hakekatnya, hari demi hari yang
kami lalui adalah bulan tua.
Komposisi Nasi Perang antara lain : Rebusan Daun Ubi,
Gulai Gori (Nangka Muda), Setumpuk Sambal yang puedas
(habis makan perut serasa perang, apalagi sambil dengar
musik metal) ditambah 2 kepal nasi. Harga sebungkusnya
cuma Rp 1000. Warung langganan kami beralamat di Jalan
dr Mansyur samping Gg Sipirok. Kalau kalian mau coba nasi
perang, jangan datang ke alamat itu, karena warungnya
sudah tutup.
Walau kami sekelompok anak-anak bokek, tapi kami masih
punya gengsi, tinggi pulak lagi. Buktinya, kalau tiba jam
makan siang, tak ada satupun dari kami yang mau disuruh
beli nasi perang. Malu. Karena sekali beli minimal 10
bungkus. Ditambah lagi air minum yang kami ambil biasanya
2x lipat jumlah nasi yang dibeli. Gengsi mengalahkan lapar.
Atau lebih tepatnya, biar bokek asal gengsi tinggi.
------------------------------------------------------------------------------------------------------
* Tulisan ini untuk mengenang sekelumit kejayaan
persahabatan kita waktu kuliah.
---- Special thanks to warung nasi perang dan abang
penjualnya yang selalu tersenyum saat kami pesan nasi
perang ---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar