Ahlan wa Sahlan

Bagi para pencari video porno berformat 3gp atau apapun, gambar bugil, atau apa saja yang berbau mesum, seks dan narkoba, jangan harap bisa menemukannya di blog ini. Artikel di blog ini adalah curahan hati kaum lemah yang selalu dipinggirkan oleh hukum yang berlandaskan materi semata.

Kamis, 22 Desember 2011

The Rice Of War Story

Tak sengaja remote control yang kupegang mengarah ke stasiun tv yang sedang menayangkan acara kuliner di Jogja. Sang presenter mampir ke salah satu warung yang menjajakan sebungkus dengan lauk sambal tempe yang akrab disebut Nasi Kucing, yang menjadi makanan favorit anak-anak mahasiswa, apalagi saat akhir bulan tiba.

Tanpa sadar pikiranku pun melayang terbang tinggi kembali ke masa perkuliahan dulu. Masa dimana aku masih menjadi seorang mahasiswa yang urakan. Dengan celana jeans lusuh, baju monza, ditambah sandal jepit yang setia menemani kemana pun aku melangkah. Sekilas memang seperti mahasiswa yang nggak mau kuliah, padahal aku cuma mahasiswa bokek.

Seperti biasanya, mahasiswa bokek biasanya berteman dengan mahasiswa bokek lainnya. Jadi bisa dibayangkan, kalau jalan bergerombolan, kami layaknya para pendekar pengemis di pilem-pilem silat Tionghoa. Ditambah dengan sedikit tampang garang, jika kami berjalan menyusuri lorong-lorong kampus, tak sedikit mata yang memandang. Mungkin dalam hati mereka, " Kalau saja orang ini berpakaian rapi, pasti banyak cewek yang ngantri." Padahal sama saja, rapi atau tidak rapi, kami tetap jomblo sejati.

Tahun 2000 adalah tahun dimana perekonomian lagi seret dibantai krisis moneter. Mau gak mau, ikat pinggang harus diketatkan. Kalau perlu disumpal dengan batu. Biar perut bisa nampak berisi. Tak jauh beda dengan mahasiswa di Jogja yang meramaikan warung nasi kucing di saat bulan tua tiba. Cuma nama nasinya yang beda. Kalau di Jogja disebut nasi kucing, kami di Medan lebih keren. Namanya Nasi Perang alias The Rice Of War (agak maksa). Trus, kalau anak Jogja banyak makan nasi kucing di akkhir bulan, kami makan nasi perang setiap hari tanpa mengenal bulan tua atau muda. Karena pada hakekatnya, hari demi hari yang kami lalui adalah bulan tua.


Komposisi Nasi Perang antara lain : Rebusan Daun Ubi, Gulai Gori (Nangka Muda), Setumpuk Sambal yang puedas (habis makan perut serasa perang, apalagi sambil dengar musik metal) ditambah 2 kepal nasi. Harga sebungkusnya cuma Rp 1000. Warung langganan kami beralamat di Jalan dr Mansyur samping Gg Sipirok. Kalau kalian mau coba nasi perang, jangan datang ke alamat itu, karena warungnya sudah tutup.

Walau kami sekelompok anak-anak bokek, tapi kami masih punya gengsi, tinggi pulak lagi. Buktinya, kalau tiba jam makan siang, tak ada satupun dari kami yang mau disuruh beli nasi perang. Malu. Karena sekali beli minimal 10 bungkus. Ditambah lagi air minum yang kami ambil biasanya 2x lipat jumlah nasi yang dibeli. Gengsi mengalahkan lapar. Atau lebih tepatnya, biar bokek asal gengsi tinggi.
------------------------------------------------------------------------------------------------------
* Tulisan ini untuk mengenang sekelumit kejayaan persahabatan kita waktu kuliah.

---- Special thanks to warung nasi perang dan abang penjualnya yang selalu tersenyum saat kami pesan nasi perang ---

Tidak ada komentar: