Ahlan wa Sahlan

Bagi para pencari video porno berformat 3gp atau apapun, gambar bugil, atau apa saja yang berbau mesum, seks dan narkoba, jangan harap bisa menemukannya di blog ini. Artikel di blog ini adalah curahan hati kaum lemah yang selalu dipinggirkan oleh hukum yang berlandaskan materi semata.

Jumat, 23 Desember 2011

Akhlakul Karimah - (Terorisme + Cuci Otak)

Once upon a time, hiduplah seorang kakek yang tinggal sebatang kara di dalam gubuk reot yang tepat berada di depan istana megah seorang gubernur. Di suatu siang yang terik, datang seorang utusan gubernur yang menyampaikan perintah penggusuran rumah si kakek karena akan segera dibangun rumah ibadah (walaupun mungkin alasan sebenarnya rumah reot si kakek menggangu pemandangan).

Tak terima dengan keputusan penggusuran itu, si kakek menangis, meronta dan memohon agar rumahnya tidak digusur. Setali tiga uang dengan keadaan sekarang, sang gubernur menutup telinga, mata dan mulutnya.

 Frustasi, si kakek memutuskan mengakhiri hidupnya dengan seutas tali. Sesaat memuluskan niatnya, terbersit harapan untuk menyelamatkan rumahnya yaitu dengan melapor ke presiden.

Dengan hanya berbekal tekad yang bulat (tidak lonjong apalagi segitiga), ia tempuh perjalanan beratus kilometer untuk menyampaikan keluhannya.

Singkat kata singkat cerita (berhubung lagi kejar deadline, dengan terpaksa tidak dijelaskan secara detail perjalanan si kakek), akhirnya sampailah ia di pusat pemerintahan. Segera dicarinya Pak Presiden yang menjabat waktu itu.


 "Pastilah yang namanya presiden orangnya gagah, dibalut baju sutra, berkalung emas, bermahkotakan berlian, duduk di singgasana kebesaran dan didampingi puluhan pengawal pribadi," celetuknya dalam hati.

 Putus asa mencari sosok presiden seperti yang dibayangkan, akhirnya ia bertanya kepada seorang penduduk. Tak sekedar menunjukkan jalan, penduduk itu langsung mengantarkan si kakek.

 Bayangan presiden dalam definisinya sirna setelah ia dihadapkan pada seorang sosok sederhana yang sedang istirahat di bawah pohon kurma tanpa pengawalan. Agak ragu dia menyampaikan keluh kesah kepada sang Presiden.

 Merah padam wajah Umar begitu mendengar penuturan orang tua itu.
“Masya Allah, kurang ajar sekali gubernur itu!” kecam sang Presiden.
“Sungguh Tuan, saya tidak mengada-ada,” si kakek itu semakin gemetar dan kebingungan. Dan ia  semakin bingung ketika Pak Presiden memintanya mengambil sepotong tulang, lalu menggores  tulang itu dengan pedangnya.

 “Berikan tulang ini pada gubernurmu.” kata sang Presiden.

Si kakek cemas dan mulai berpikir yang tidak-tidak. "Jangan-jangan ada konspirasi antara presiden dan gubernur. Di manapun, mereka yang mayoritas dan memegang kendali pasti akan menindas kelompok minoritas," begitu pikir si kakek. Bisa jadi dirinya malah akan ditangkap dan dituduh subversif.

 Si kakek itu semakin tidak mengerti ketika bertemu kembali dengan gubernur. “Bongkar rumah ibadah itu!” teriak gubernur gemetar. Wajahnya pucat dilanda ketakutan yang amat sangat.

 Si kakek berlari keluar menuju gubuk reotnya untuk membuktikan sesungguhan perintah gubernur. Benar saja, sejumlah orang sudah bersiap-siap menghancurkan tempat ibadah yang sudah hampir jadi itu.

“Tunggu!” teriak sang kakek. “Maaf, Tuan Gubernur, tolong jelaskan perkara pelik ini.

Berasal dari apakah tulang itu? Apa keistimewaan tulang itu sampai-sampai Tuan berani memutuskan untuk membongkar begitu saja bangunan yang amat mahal ini. Sungguh saya tidak mengerti!” tanyanya.

 Sang gubernur memegang pundak si kakek, “Wahai kakek, tulang itu hanyalah tulang biasa, baunya pun busuk.”

“Karena berisi perintah presiden, tulang itu menjadi sangat berarti.Ketahuilah, tulang nan busuk itu adalah peringatan bahwa berapa pun tingginya kekuasaan seseorang, ia akan menjadi tulang yang busuk. Sedangkah huruf alif yang digores, itu artinya kita harus adil baik ke atas maupun ke bawah. Lurus seperti huruf alif. Dan bila saya tidak mampu menegakkan keadilan, presiden tidak segan-segan memenggal kepala saya!” jelas sang gubernur.

“Sungguh agung ajaran agama Tuan. Sungguh, saya rela menyerahkan tanah dan gubuk itu. Dan bimbinglah saya dalam memahami ajaran Islam!” tutur si kakek itu dengan mata berkaca-kaca.

***

Sebenarnya itu adalah salah satu dari beribu kisah keteladanan Khalifah Umar bin Khattab (sang presiden) yang tegas menyikapi sikap Amr bin Ash (gubernur Mesir saat itu) yang dianggap telah mendzolimi seorang Yahudi tua. Namun sengaja tidak dituliskan nama Sang Khalifah Umar bin Khattab ra, karena saya ingin kawan-kawan fokus kepada akhlak sang pemimpin dan tidak silau oleh nama besarnya. Tapi malah saya yang keasyikan menulis ulang kisah kebesaran beliau.

Kepribadian seperti Umar bin Khattab dan para sahabat utama mungkin tak akan bisa dijumpai sekarang ini. Pribadi yang memegang teguh amanah Rasulullah. Bahkan Umar tak ragu untuk membela hak seorang Yahudi tua daripada merestui pembangunan mesjid megah. Dan pada akhirnya si Yahudi tua iklhas memeluk Islam.

Islam adalah rahmat sekalian alam. Mungkin akhir-akhir ini banyak yang menganggap sebaliknya. Banyak mencuat problematika yang mengatasnamakan Islam. Mulai dari teroris yang hobby ngebom hingga cuci otak. Yang saya sebut belakangan tak kalah seram dari pengeboman. Targetnya bukan sembarangan, mulai dari mahasiswa hingga pengusaha. Karena dalangnya (yang katanya angoota NII) hanya menginginkan uang, faktor keduniawian yang dituhani banyak orang Islam (orang Islam belum tentu MUSLIM).

Buntutnya, sesama orang Islam saling su'udzon. Sang mayoritas hancur berkeping-keping. Ini juga pernah diramalkan Rasulullah. Orang Islam kehilangan kepribadian. Cetak biru kepribadian Rasulullah dan para sahabat lenyap dimakan rayap-rayap modernisasi yang kebablasan.

Satu golongan merasa lebih benar dari yang lain. Ketika sudah terdoktrin seperti itu, darah pun halal. Tak terbayang jika kita terjebak dalam peperangan, lawan di ujung berteriak dengan kata yang sama dengan kita yaitu "ALLAHU AKBAR" dan dengan ringannya menebaskan pedang tepat dileher demi menegakkan aliran Islamnya.

Perihal benar salah adalah hak prerogatif Allah. Dia sendiri yang akan memilih hamba yang berhak masuk ke pelataran singgasana-Nya. Tak perlu memaksakan kehendak apalagi cuci otak agar orang sependapat dengan kita. Disaat seperti ini, kita merindukan seorang khalifah seperti Umar bin Khattab (karena yang seperti Rasulullah tidak akan pernah ada lagi).

Tidak ada komentar: