Dalam matematika, konstanta atau tetapan adalah suatu nilai tetap.
Salah satu konstanta bisa ditemukan dalam rumus luas lingkaran, yaitu π
(phi). Phi nilainya tetap 22/7 atau 3,14. Jika diubah, makanya hasilnya
pasti akan salah.
Konstanta, meski dirancang pemikiran
manusia, dijalankan layaknya hukum Tuhan. Didoktrin ke pikiran sedari
kecil dan dijalankan tanpa berubah secuil. Siapapun yang menggeluti ilmu
pasti, harus tunduk pada ketetapan ini.
Konstanta bukan
sembarang hukum. Meski nilai π ditetapkan dan ditemukan 1000 tahun lalu
oleh Zu Chongzhi --seorang matematikawan dan ilmuwan terkenal di
Tiongkok kuno tepatnya zaman Dinasti Tang-- masih jadi panutan hingga
sekarang. Ini karena kegunaannya tak bisa dianggap sepele. Sebuah roket
tak akan bisa menerobos atmosfer jika terdapat kesalahan pada salah satu
konstantanya. Ataupun perhitungan kalender Bangsa Maya yang katanya
2012 bumi kiamat ternyata tidak tepat gara-gara tidak digunakannya
‘jasa’ konstanta. Hasilnya, terdapat jurang perbedaan hitungan yang
lumayan dalam, yaitu 50-60 tahun jika kalender Maya dikonversi ke
Gregorian.
Berbeda 360 derajat jika membandingkan hukum
ilmu sains dengan hukum ‘biasa’. Namanya juga hukum’biasa’,
penggunaannya pun biasa-biasa saja. Atau boleh dibilang kadang
digunakan, kadang ditinggalkan. Tergantung fulus yang beredar dan
banyaknya relasi yang seliweran atau duduk di ‘level atas’.
Hukum
adalah komoditi yang laku keras meski harganya tidak murah. Penjualnya,
oknum yang mengerti hukum. Pembelinya, bisa datang dari beberapa elemen
masyarakat. Mulai dari si dompet tebal yang terlibat masalah, sampai
si jelata yang jadi korban keberingasan (oknum) hukum yang terpaksa
meminjam uang untuk mengurus anaknya yang dituduh (baca: DIPAKSA) melanggar hukum.
Tidak
adanya ketegasan dalam hukum –dan memang dikondisikan selalu seperti
itu—bikin rakyat semakin mirip hakim yang biasanya menjatuhkan vonis.
Lho kok bisa?? Rakyat pasti akan memvonis seorang koruptor dengan
hukuman serendah-rendahnya (plus fasilitas mewah di bui serta tiket
pulang pergi tamasya) dan hukuman yang berat buat supir angkot yang
‘nyangkut’ 1 amp ganja di saku celananya
Hukum tak akan
pernah seperti konstanta yang lurus, pasti dan fasih membedakan benar
atau salah. Hukum masih mengenal abu-abu, sedangkan konstanta cuma hitam
atau putih.
Jika hukum dijalankan seperti perhitungan konstanta
dalam matematika, kita pasti butuh penjara yang sangat luas guna
menampung koruptor. Dan yang paling tragis, akan terjadinya kekosongan
pemerintahan atau vacuum of power –gara-gara pada nginap di bui-- mirip
masa transisi dari penjajahan Jepang ke Belanda. Itulah konsekuensi yang
tak akan pernah bisa ditanggung. Itulah konsekuensi konstanta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar