Ahlan wa Sahlan

Bagi para pencari video porno berformat 3gp atau apapun, gambar bugil, atau apa saja yang berbau mesum, seks dan narkoba, jangan harap bisa menemukannya di blog ini. Artikel di blog ini adalah curahan hati kaum lemah yang selalu dipinggirkan oleh hukum yang berlandaskan materi semata.

Jumat, 23 Desember 2011

Konsekuensi Konstanta

Dalam matematika, konstanta atau tetapan adalah suatu nilai tetap. Salah satu konstanta bisa ditemukan dalam rumus luas lingkaran, yaitu π (phi). Phi nilainya tetap 22/7 atau 3,14. Jika diubah, makanya hasilnya pasti akan salah.

Konstanta, meski dirancang pemikiran manusia, dijalankan layaknya hukum Tuhan. Didoktrin ke pikiran sedari kecil dan dijalankan tanpa berubah secuil. Siapapun yang menggeluti ilmu pasti, harus tunduk pada ketetapan ini.

Konstanta bukan sembarang hukum. Meski nilai π ditetapkan dan ditemukan 1000 tahun lalu oleh Zu Chongzhi --seorang matematikawan dan ilmuwan terkenal di Tiongkok kuno tepatnya zaman Dinasti Tang-- masih jadi panutan hingga sekarang. Ini karena kegunaannya tak bisa dianggap sepele. Sebuah roket tak akan bisa menerobos atmosfer jika terdapat kesalahan pada salah satu konstantanya. Ataupun perhitungan kalender Bangsa Maya yang katanya 2012 bumi kiamat ternyata tidak tepat gara-gara tidak digunakannya ‘jasa’ konstanta. Hasilnya, terdapat jurang perbedaan hitungan yang lumayan dalam, yaitu 50-60 tahun jika kalender Maya dikonversi ke Gregorian.

Berbeda 360 derajat jika membandingkan hukum ilmu sains dengan hukum ‘biasa’. Namanya juga hukum’biasa’, penggunaannya pun biasa-biasa saja. Atau boleh dibilang kadang digunakan, kadang ditinggalkan. Tergantung fulus yang beredar dan banyaknya relasi yang seliweran atau duduk di ‘level atas’.


Hukum adalah komoditi yang laku keras meski harganya tidak murah. Penjualnya, oknum yang mengerti hukum. Pembelinya, bisa datang dari beberapa elemen masyarakat. Mulai dari si dompet  tebal yang terlibat masalah, sampai si jelata yang jadi korban keberingasan (oknum) hukum yang terpaksa meminjam uang untuk mengurus anaknya yang dituduh (baca: DIPAKSA) melanggar hukum.

Tidak adanya ketegasan dalam hukum –dan memang dikondisikan selalu seperti itu—bikin rakyat semakin mirip hakim yang biasanya menjatuhkan vonis. Lho kok bisa?? Rakyat pasti akan memvonis seorang koruptor dengan hukuman serendah-rendahnya (plus fasilitas mewah di bui serta tiket pulang pergi tamasya) dan hukuman yang berat buat supir angkot yang ‘nyangkut’ 1 amp ganja di saku celananya

Hukum tak akan pernah seperti konstanta yang lurus, pasti dan fasih membedakan benar atau salah. Hukum masih mengenal abu-abu, sedangkan konstanta cuma hitam atau putih.
Jika hukum dijalankan seperti perhitungan konstanta dalam matematika, kita pasti butuh penjara yang sangat luas guna menampung koruptor. Dan yang paling tragis, akan terjadinya kekosongan pemerintahan atau vacuum of power –gara-gara pada nginap di bui-- mirip masa transisi dari penjajahan Jepang ke Belanda. Itulah konsekuensi yang tak akan pernah bisa ditanggung. Itulah konsekuensi konstanta.

Tidak ada komentar: