Namanya Irfan. Kalau dilihat dari perawakan, umurnya kira-kira 20-an
tahun. Ia bekerja di sebuah perusahaan di Medan sebagai tenaga
pemasaran. Dia mungkin orang biasa, tapi tanpa dia sadari, ia telah
memberikan pelajaran luar biasa untukku.
Dini hari itu langit
cerah. Aku selesai kerja pukul 2 pagi. Seperti biasa, sambil menunggu
seorang teman, aku memanaskan kereta. Aku mencari keretaku diantara
barisan kereta yang terparkir, tapi mataku alah tertuju pada sebuah
sepeda dengan keadaan kupak kapik karena bannya yang sudah koyak. Siapa
yang berani memarkir sepeda di barisan kereta keluaran baru ini pikirku.
Sudah tak layak pakai pula lagi.
Tak lama kemudian, si pemilik
sepeda, muncul dengan membawa dagangannya. Wajahnya yang lugu sedikit
bingung saat melihat kendaraannya yang tak bisa dinaiki lagi. Sang
satpam yang iba, langsung menganjurkannya supaya numpang. Karena memang
jalan pulang yang kami lalui searah dengan tujuannya, sang satpam pun
meminta tolong kepada salah seorang teman untuk bersedia memberikan
tumpangan.
Tanpa basa-basi, aku dan teman-teman yang lain, yang
kebetulan masih satu divisi langsung menginterogasinya. Karena kami
heran, kenapa masih ada karyawan yang naik sepeda? Padahal setiap hari,
lahan parkir yang semakin disesaki mobil bagus, pertanda perusahaan
tempatnya bekerja sudah bisa dikategorikan sebagai perusahaan maju.
Irfan,
si pengendara sepeda itu langsung bercerita. Ia telah bekerja di
perusahaan itu selama lebih kurang 8 tahun. Masa kerja yang lebih lama
dariku. Ia tinggal di Jl. Ngalengko, di belakang RSU Pirngadi. Setiap
malam, berangkat dari rumah ke tempatnya kerja yang berjarak sekitar
10km untuk mengambil barang dagangannya yang akan dipasarkan di Simpang
Limun hingga Jl. Gajahmada. Rutinitasnya itu dilakukan dengan berjalan
kaki, hingga suatu saat atasannya berbaik hati memberinya sepeda.
Tapi
dinihari itu ia ketiban sial. Kendaraan kebanggaannya tak bisa lagi
dinaiki. Ban belakangnya koyak. Setiap usahanya untuk menambal selalu
gagal. Karena memang sudah tidak bisa lagi dipakai. Akhirnya, ia
menyiksa sepedanya itu dengan menaikinya hingga ke tempat kerja. Apa mau
dikata, uang sepeserpun ia tak ada. Hanya bermodal semangat. Sangat
kontras bila dibandingkan dengan para pedugem yang menghabiskan jutaan
rupiah dalam waktu semalam. Memang itu hak mereka, karena itu uang
mereka. Walaupun dalam literatur agama dituliskan, bahwa dalam rejeki
kita, terdapat rejeki orang-orang tak mampu.
Kembali ke cerita si
Irfan. Sesampainya di kantor, ia langsung melaporkan kondisi sepeda ke
atasannya. Sang atasan yang tanpa beban berucap, kalau biaya mereparasi
sepeda akan dipotong dari gaji anak yatim itu. Ketika kutanya berapa
gajinya perbulan, ia menjawab dengan enteng, "Gak tau bang, urusan orang
keuangan lah itu, utangku banyak disini bang". Tapi aku kembali
bertanya berapa jumlah utangnya. Ia kembali melontarkan jawaban yang
sama.
Ketika para petinggi gonta ganti tunggangan, ia mengganti
ban sepeda saja tak bisa. Sampai kapan suatu perusahaan dapat bertahan,
jika perusahaan itu sudah tak lagi mau peduli dengan karyawannya.
Padahal, gaji yang mereka terima juga merupakan jerih payah orang-orang
seperti Irfan yang tak kenal menyerah walau hak-haknya tak terpenuhi. Ia
korban kapitalisme. Dan tanpa kusadari, aku adalah bagian dari
kapitalisme itu sendiri.
Masih banyak Irfan lainnya. Yang tak
peduli dengan kisruh Century, yang tak ambil pusing dengan kunjungan
Obama, atau malah tak tahu kalau akan digelar pemilihan walikota Medan.
Karena dari tahun ke tahun, nasib orang-orang seperti mereka tak pernah
tersentuh manfaat pembangunan yang katanya mensejahterakan kehidupan
bangsa. Bangsa yang mana???
Tidak ada komentar:
Posting Komentar