Ahlan wa Sahlan

Bagi para pencari video porno berformat 3gp atau apapun, gambar bugil, atau apa saja yang berbau mesum, seks dan narkoba, jangan harap bisa menemukannya di blog ini. Artikel di blog ini adalah curahan hati kaum lemah yang selalu dipinggirkan oleh hukum yang berlandaskan materi semata.

Kamis, 22 Desember 2011

Irfan dan Sepeda Butut

Namanya Irfan. Kalau dilihat dari perawakan, umurnya kira-kira 20-an tahun. Ia bekerja di sebuah perusahaan di Medan sebagai tenaga pemasaran. Dia mungkin orang biasa, tapi tanpa dia sadari, ia telah memberikan pelajaran luar biasa untukku.

Dini hari itu langit cerah. Aku selesai kerja pukul 2 pagi. Seperti biasa, sambil menunggu seorang teman, aku memanaskan kereta. Aku mencari keretaku diantara barisan kereta yang terparkir, tapi mataku alah tertuju pada sebuah sepeda dengan keadaan kupak kapik karena bannya yang sudah koyak. Siapa yang berani memarkir sepeda di barisan kereta keluaran baru ini pikirku. Sudah tak layak pakai pula lagi.

Tak lama kemudian, si pemilik sepeda, muncul dengan membawa dagangannya. Wajahnya yang lugu sedikit bingung saat melihat kendaraannya yang tak bisa dinaiki lagi. Sang satpam yang iba, langsung menganjurkannya supaya numpang. Karena memang jalan pulang yang kami lalui searah dengan tujuannya, sang satpam pun meminta tolong kepada salah seorang teman untuk bersedia memberikan tumpangan.

Tanpa basa-basi, aku dan teman-teman yang lain, yang kebetulan masih satu divisi langsung menginterogasinya. Karena kami heran, kenapa masih ada karyawan yang naik sepeda? Padahal setiap hari, lahan parkir yang semakin disesaki mobil bagus, pertanda perusahaan tempatnya bekerja sudah bisa dikategorikan sebagai perusahaan maju.

Irfan, si pengendara sepeda itu langsung bercerita. Ia telah bekerja di perusahaan itu selama lebih kurang 8 tahun. Masa kerja yang lebih lama dariku. Ia tinggal di Jl. Ngalengko, di belakang RSU Pirngadi. Setiap malam, berangkat dari rumah ke tempatnya kerja yang berjarak sekitar 10km untuk mengambil barang dagangannya yang akan dipasarkan di Simpang Limun hingga Jl. Gajahmada. Rutinitasnya itu dilakukan dengan berjalan kaki, hingga suatu saat atasannya berbaik hati memberinya sepeda.


Tapi dinihari itu ia ketiban sial. Kendaraan kebanggaannya tak bisa lagi dinaiki. Ban belakangnya koyak. Setiap usahanya untuk menambal selalu gagal. Karena memang sudah tidak bisa lagi dipakai. Akhirnya, ia menyiksa sepedanya itu dengan menaikinya hingga ke tempat kerja. Apa mau dikata, uang sepeserpun ia tak ada. Hanya bermodal semangat. Sangat kontras bila dibandingkan dengan para pedugem yang menghabiskan jutaan rupiah dalam waktu semalam. Memang itu hak mereka, karena itu uang mereka. Walaupun dalam literatur agama dituliskan, bahwa dalam rejeki kita, terdapat rejeki orang-orang tak mampu.

Kembali ke cerita si Irfan. Sesampainya di kantor, ia langsung melaporkan kondisi sepeda ke atasannya. Sang atasan yang tanpa beban berucap, kalau biaya mereparasi sepeda akan dipotong dari gaji anak yatim itu. Ketika kutanya berapa gajinya perbulan, ia menjawab dengan enteng, "Gak tau bang, urusan orang keuangan lah itu, utangku banyak disini bang". Tapi aku kembali bertanya berapa jumlah utangnya. Ia kembali melontarkan jawaban yang sama.

Ketika para petinggi gonta ganti tunggangan, ia mengganti ban sepeda saja tak bisa. Sampai kapan suatu perusahaan dapat bertahan, jika perusahaan itu sudah tak lagi mau peduli dengan karyawannya. Padahal, gaji yang mereka terima juga merupakan jerih payah orang-orang seperti Irfan yang tak kenal menyerah walau hak-haknya tak terpenuhi. Ia korban kapitalisme. Dan tanpa kusadari, aku adalah bagian dari kapitalisme itu sendiri.

Masih banyak Irfan lainnya. Yang tak peduli dengan kisruh Century, yang tak ambil pusing dengan kunjungan Obama, atau malah tak tahu kalau akan digelar pemilihan walikota Medan. Karena dari tahun ke tahun, nasib orang-orang seperti mereka tak pernah tersentuh manfaat pembangunan yang katanya mensejahterakan kehidupan bangsa. Bangsa yang mana???

Tidak ada komentar: