Ahlan wa Sahlan

Bagi para pencari video porno berformat 3gp atau apapun, gambar bugil, atau apa saja yang berbau mesum, seks dan narkoba, jangan harap bisa menemukannya di blog ini. Artikel di blog ini adalah curahan hati kaum lemah yang selalu dipinggirkan oleh hukum yang berlandaskan materi semata.

Rabu, 19 Maret 2014

Sejuknya Bukit Tinggi, Tak Sesejuk Warganya



Dari beberapa propinsi yang ada di Sumatera, hanya Sumatera Barat yang mempunyai keindahan alam yang membuat jiwa kita terpaut, hingga akan selalu merindukan keeksotisannya.

Berangkat dari Medan dengan bus ALS menuju Bukit Tinggi memakan waktu 20 jam. Jika bukan karena pelayanan bus ALS yang seadanya ditambah seringnya berhenti dengan alasan yang nggak jelas, mungkin perjalanan hanya memakan waktu 17 jam. Memang begitulah service kebanyakan angkutan darat di Medan. Walau naik di bus Super Executive dengan seat 2 - 1, pelayanannya tetap ekonomis. Toilet yang jorok, tv yang cuma hidup 5 jam dan AC yang nggak bisa di kontrol menambah penderitaan. Tak heran banyak yang memilih angkutan udara.


Mengambil jalur Kisaran - Panyabungan - Madina, kami disuguhi pemandangan yang menakjubkan. Terutama di daerah Madina yang kirinya dihiasi sungai dan kanan disuguhi pemandangan persawahan yang elok bak lukisan. Sayang, alam yang begitu indah mulai rusak akibat penambangan emas. Terlihat traktor pengeruk tanah melintang di sepanjang jalan.

Lamanya perjalanan mewajibkan bus yang kami tumpangi berhenti 3 kali di rumah makan. Saran saya, bawalah makanan dari rumah jika tidak mau kantong anda bolong. Karena dari 3 rumah makan yang disinggahi, semuanya menyajikan makanan 'kurang bumbu' yang harganya selangit. Ditambah pelayannya yang bermuka masam.

Setelah berjibaku dengan segala ketidaknyamanan dalam perjalanan, akhirnya kami tiba di Bukit Tinggi. Kota pariwisata yang terkenal dengan Jam Gadang, Lubang Jepang dan Ngarai Sihanoknya. Untung saja ada kerabat yang berdomisili di Bukit Tinggi. Karena meski bukan musim liburan, tarif hotel di Bukit Tinggi tergolong mahal.

Tanpa membuang waktu liburan, aku minta seorang kerabat untuk jadi guide keliling kota Bukit Tinggi. Start dari jalan Mandiangin dengan angkot, kami turun di simpang 3 yang mengarah ke Jenjang 40. (Salah satu keunikan di Bukit Tinggi, banyak nama tempat yang menggunakan angka. Ada kelok 44, Jenjang 1000, Kelok 9 dan Jenjang 40)

Jenjang (tangga) 40 mengarah ke Pasar Atas (Pasar Ateh) yang merupakan komplek Jam Gadang. Berbagai oleh-oleh dijual di sini. Anda harus menyediakan rupiah yang tidak sedikit jika belanja di Pasar Atas dengan menggunakan bahasa Indonesia. Untung saja kami punya guide orang asli Bukit Tinggi yang kebetulan punya kenalan yang berjualan di Pasar Atas.

Kaos bergambar Jam Gadang yang biasanya dijual pada kisaran 40-60 ribu, bisa kami dapatkan dengan harga 25 ribu saja. Berarti dengan modal 200ribu, bisa dapat 8 potong baju.

Puas beli baju, kami istirahat di sekitaran Jam Gadang. Tak lengkap liburan tanpa dokumentasi. Beberapa menit bergaya di depan Jam Gadang, banyak badut yang mengerumuni. Jika biasanya pelancong yang meminta untuk berfoto bersama badut, di sini badutnya yang memaksa foto dengan pelancong. Yang paling anehnya lagi, meski kita berfoto dengan kamera sendiri dan badut itu mendekat tanpa diminta, setelah selesai foto malah kita yang dimintai uang. Meski dia bilang seiklasnya, pas diberi uang seribu si badut minta 5ribu. Jika kita tak segera memberi, badut pengemis itu akan setia mengikuti. Sangat tak nyaman.

Perjalanan dilanjutkan ke Lubang Jepang. Lubang sedalam 64 meter ini dulunya tempat pembantaian pribumi oleh tentara Jepang. Di depan pintu lubang, banyak yang menawarkan jasa penunjuk arah. Karena kami backpacker bokek, akhirnya memilih untuk berpetuakang sendiri menyusuri Lubang Jepang.

Kondisi di dalam lubang jauh dari anggapan angker. Ditiap lorong, banyak tulisan Cafe di sertai bangku dan keja kosong lengkap dengan stelling (lemari kaca untuk jualan). Bukan itu saja, kanan kiri lubang juga dipenuhi coretan. Ada yang sekedar coretan nama, ada juga yang menulis caci maki di dinding lubang. Miris... Tempat bersejarah yang sudah hilang nilai sejarahnya. Seharusnya tiap lorong diisi gambar dan kisah perjuangan, bukan bangku dan meja Cafe.

Disini anda juga harus siap-siap kesasar. Karena Lubang Jepang minim dengan penunjuk arah. Tapi jangan takut. Ada beberapa warga sekitar didekat kita yang siap memanfaat kegusaran kita saat kesasar. Persis seperti burung bangkai yang menanti mangsanya mati perlahan. Sangat tak nyaman.

Lelah dengan ketidaknyaman, akhirnya kami memutuskan untuk balik kanan pulang ke rumah dan menghabiskan waktu dengan memancing di kolam belakang. Sepanjang perjalanan pulang, rasa kecewa menyelimuti. Sungguh sayang, tempat yang indah ini tidak dikelola dengan baik. Predikat Kota Wisata yang melekat harus ditinjau ulang.

Tidak ada komentar: