Ahlan wa Sahlan

Bagi para pencari video porno berformat 3gp atau apapun, gambar bugil, atau apa saja yang berbau mesum, seks dan narkoba, jangan harap bisa menemukannya di blog ini. Artikel di blog ini adalah curahan hati kaum lemah yang selalu dipinggirkan oleh hukum yang berlandaskan materi semata.

Jumat, 08 Agustus 2014

Wajah Buruk Pendidikan Negeriku

Program pemerintah sejak 10 tahun lalu yang ingin menggratiskan pendidikan sepertinya hanya berjalan di tempat. Bagaimana tidak, cucuran uang BOS yang begitu besarnya masih tidak mampu menciptakan pendidikan bebas biaya.

Selalu saja ada celah untuk oknum-oknum jahat (mafia) dunia pendidikan untuk memanen rupiah dari para siswa. Tidak jadi masalah jika orangtua siswa adalah koruptor, berarti bisa berlaku rumus uang hantu dimakan setan. Tapi bagaimana jika orangtuanya cuma buruh pabrik yang gaji sebulan sudah habis buat biaya hidup 2 minggu?


Salah satu celah yang dari dulu hingga kini menjadi keran deras pemasukan para mafia adalah buku. Kebetulan saya punya narasumber yang kredibel untuk diwawancarai perihal yang satu ini.

Heri, seorang manajer disebuah percetakan ternama di Medan. Meski perusahaan tempatnya bekerja kebanyakan mencetak suratkabar, tak jarang ia menerima orderan buku pelajaran.

Saya menanyakan berapa ongkos cetak untuk sebuah LKS (Lembar Kerja Siswa) berukuran sedikit lebih kecil dari kertas A3 dengan cover lux dan kertas ubi (kertas tipis berwarna kekuningan) sebagai lembar isinya dengan 30 lembar halaman.

Jawabannya lumayan mengejutkan. Rp2500 per buku untuk 1000 cetakan. Jika cetak lebih dari 1000, ongkosnya bisa semakin kecil. Padahal tadi pagi anak saya menagih uang LKS sebesar Rp9000 per buku. Keuntungannya Rp6500. Hampir 3 kali lipat.

Bagaimana kalau buku pelajaran full colour, ukuran kertas Legal dengan jenis kertas HVS (putih, lebih tebal dari kertas ubi)???

Dari contoh buku pelajaran dengan spesifikasi seperti di atas dengan 50 lembar halaman, ongkosnya Rp25000 per buku dengan estimasi cetak 1000 buku. Sedangkan harga jualnya bisa mencapai Rp75000 per buku.

Untung segitu besar, siapa yang meraupnya???

Narasumber kedua bernama Sri. Ibu dua orang anak yang 10 tahun lebih bekerja sebagai manajer pemasaran sebuah penerbit berskala nasional. Sewaktu saya sekolah dulu, buku pelajaran saya pun sudah memakai buku terbitan tersebut.

Sambil menikmati semangkuk bakso, Sri pun bercerita tentang pengalamannya memasuki belantara dunia pendidikan.

Sri mengaku, untuk meloloskan sebuah judul buku pelajaran, ia harus bisa menuruti segala permintaan Kepala Sekolah. Biasanya mereka travelling. Tapi ada juga yang minta senang-senang di spa atau karoke lengkap dengan wanita penghiburnya. Dahsyat??? Belum juga.

Bagi Sri yang pernah menjadi best manejer di tempatnya bekerja, akan lebih gampang jika bos-bos di dinas pendidikan bisa dikuasai. Untuk ukuran kepala dinas, biaya yang dikeluarkan pun fantastik, senilai mobil Alphard. Belum lagi THR lebaran, tahun baru dan pembiayaan untuk semua acara yng digelar bos-bos itu.

Pantaslah jika harga penjualan buku begitu menggelembung. Uang buku yang dibayarkan oleh siswa yang orangtuanya buruh bangunan atau tukang becak atau pedagang bakso keliling itu untuk membiayai oknum-oknum mafia pendidikan.

Sungguh sangat tragis nasib anak didik bangsa ini. Karena menghabisi mafia itu sama sulitnya dengan menguras air laut dengan gayung. Belum lagi lembaga hukum negeri ini yang ompong.

Sungguh sangat miris jika kita bandingkan dengan seorang guru di pelosok negeri. Yang berjuang sendiri tanpa alasan materi. Menerobos hutan demi pengabdian. Karena tangan para penguasa dunia pendidikan tak sudi menyentuhnya.

Semoga negeri ini segera dipenuhi sosok-sosok yang jujur berbakti....

Tidak ada komentar: